1.
Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka
Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000
menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan
semakin “kabur” (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling
berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan
keuntungan (profit). Kadang kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan
tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang
dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan
semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu
tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan
apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala
masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak
saling “menindas” agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda.
Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2010 , ada saatnya
dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika,
yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan
menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan
?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan
agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat
dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis
sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang
terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-“bisnis”.
Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan
dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi,
jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa
puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan
terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang
benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen.
Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi
tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber “moral”, dunia ini akan menjadi
suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang
diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan
pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama
dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang
sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama
akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini
sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu
peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh
dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan
dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Etika
Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk
melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan
kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam
suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya
kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi
dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh
orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara
pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan
internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis
perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha,
pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja
yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka
inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui
adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis
tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu
etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan
pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada
suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam
menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
ialah :
1.
Pengendalian diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka
masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk
apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan
dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan
tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah
etika bisnis yang “etis”.
2.
Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku
bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya
dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks
lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan
sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah
untuk terombangambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan
berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian
bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat
adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan
dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat
jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah,
sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect
terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu
ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan”
Dunia
bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi
perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini
jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-“ekspoitasi” lingkungan dan keadaan
saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)
Jika
pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan
terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya,
kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai
contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece”
dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga
jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada
pihak yang terkait.
8.
Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk
menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling percaya (trust)
antara golongan pengusaha kuat dengan
golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan
pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu
hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan
kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia
bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main
yang telah disepakati bersama.
Semua
konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik
pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan”
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu
semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa
memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika
etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11.
Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif
yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini
untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi”
terhadap pengusaha lemah.
SUMBER :
0 komentar:
Posting Komentar