UPAYA PEMULIHAN EKONOMI
MELALUI STRATEGI KEBIJAKAN MONETER – PERBANKAN
DAN INDEPENDENSI BANK INDONESIA *


I.                   Pendahuluan

Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan tersebut. Bahkan sebagian masyarakat sering berharap terlampau banyak dari sektor moneter dan perbankan dalam memecahkan berbagai masalah ekonomi, termasuk masalah yang timbul dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia dewasa ini. Kebijakan moneter dan perbankan sering dipandang mempunyai kekuatan yang lebih dari apa yang secara efektif dapat dicapai dengan kebijakan tersebut. Disatu sisi hal ini dapat dipahami mengingat sektor moneter dan perbankan memang mempunyai fungsi yang mampu memberi pelayanan pada bekerjanya sector riil; baik kegiatan investasi, produksi, distribusi maupun konsumsi. Namun, sampai pada tahap tertentu, harapan yang terlalu banyak tersebut perlu diluruskan. Sektor moneter-perbankan, dan karenanya juga kebijakan moneter-perbankan, hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan pembangunan nasional yang secara bersamasama dalam suatu sinergi diarahkan untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan maupun perumusan kebijakan moneter-perbankan harus senantiasa ditempatkan pada konteksnya sebagai bagian dari kebijakan ekonomi nasional. Pemahaman ini menjadi semakin penting dalam kaitannya dengan arah kebijakan ekonomi nasional kita dewasa ini yang diarahkan pada upaya pemulihan ekonomi pasca-krisis dengan menitikberatkan pada program stabilisasi dan reformasi ekonomi.
Tulisan ini akan mencoba untuk mengkaji strategi kebijakan moneter dan perbankan yang tepat dalam mendukung upaya pemulihan perekonomian nasional.





Untuk itu, pada bagian awal akan diuraikan secara kilas balik mengenai sebab-sebab terjadinya krisis dan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Selanjutnya akan diuraikan mengenai langkah-langkah yang ditempuh untuk memulihkan perekonomian nasional melalui kebijakan moneter-perbankan dengan fokus pada upaya pemberdayaan perbankan. Pada bagian akhir secara khusus akan dikaji mengenai UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan kuatnya nuansa “independensi” serta implikasinya pada pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia di bidang moneter dan perbankan.

II.               Akar permasalahan krisis dan dampaknya terhadap perekonomian Nasional

Akar permasalahan krisis ekonomi
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan akibat dari semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global, dimana pada saat yang sama perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Di satu sisi, keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai langkah deregulasi yang ditempuh Pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik yang bergerak terus secara dinamis. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang masuknya modal asing dalam jumlah besar, khususnya dari sektor swasta. Berbagai perkembangan ini, ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi factor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi Indonesia.
Akan tetapi, di sisi lain, dinamisme perekonomian makro yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha (mikroekonomi). Hal ini dapat dilihat antara lain dari rendahnya kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintah akibat kurangnya transparansi dan konsistensi serta lemahnya informasi. Selain itu, kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, baik oleh sektor swasta maupun pemerintah, juga merupakan cerminan dari menurunnya efisiensi pengelolaan dunia usaha. Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerentanan (fragility) yang terdapat dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Terdapat lima faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi, yaitu:

·         Pertama, adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industry perbankan telah menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi.

·          Kedua, sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan.

·         Ketiga, besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.

·          Keempat, relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi risiko yang berlebihan.


·          Kelima, kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol social dan menciptakan disiplin pasar (market discipline).




Dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia
Dengan kondisi fundamental ekonomi mikro seperti tersebut di atas, gejolak nilai tukar, yang sebenarnya hanya merupakan efek penularan (contagion effect) dari yang terjadi di Thailand, telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah. Kondisi stagflasi dan instabilitas mewarnai ekonomi Indonesia, khususnya pada periode selama tahun 1998. Penurunan nilai tukar rupiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestic pada barang dan jasa impor. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi 4 kewajiban-kewajiban luar negeri yang segera harus dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai ekonomi Indonesia pada saat itu sebagai dampak semakin banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas, atau bahkan menghentikan produksinya. Pada saat yang bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77,6%) dan penurunan penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi (kontraksi 13.7%) telah mengakibatkan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat serta memperluas kantong-kantong kemiskinan. Di sektor perbankan, depresiasi rupiah yang kemudian diikuti oleh kenaikan suku bunga sebagai konsekuensi upaya penstabilan harga dan nilai tukar rupiah telah memperburuk kinerja debitur sehingga kredit bermasalah semakin membengkak. Bank-bank terpaksa menanggung marjin bunga bersih (net interest margin) negative sebagai akibat peningkatan suku bunga dana yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan suku bunga pinjaman. Situasi tersebut telah meningkatkan kerugian bank, yang pada akhirnya mengikis permodalan bank sehingga hampir semua bank mengalami kekurangan modal. Terpuruknya sektor perbankan yang mengakibatkan terganggunya fungsi intermediasi membawa dampak yang lebih jauh, yaitu menipisnya sumber dana bagi kegiatan sektor riil, termasuk sektor usaha kecil dan koperasi. Di lain pihak, bank-bank juga cenderung menanamkan dananya di pasar uang antar bank (PUAB) dan Sertipikat Bank Indonesia (SBI) daripada di sektor riil yang dipandang mengandung risiko kredit lebih tinggi. Begitu besarnya dampak negatif dari krisis ekonomi tersebut, sehingga berbagai permasalahan non-ekonomi yang sangat berat dan mendasar pun muncul dalam waktu yang relatif bersamaan. Kerusuhan sosial telah menyebabkan berbagai kerusakan, baik di sektor produksi dan jaringan distribusi, yang berdampak pada memburuknya iklim usaha di Indonesia.
Jaringan distribusi yang tidak sepenuhnya berfungsi, disertai dengan panic buying telah menyebabkan munculnya ekspektasi masyarakat akan kenaikan harga-harga secara berkelanjutan. Kesemuanya itu selanjutnya telah menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat, domestic maupun internasional, terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sementara itu, prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika Serikat, sangat menjanjikan. Akibatnya, modal asing, yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia, keluar secara bersamaan dan dalam jumlah besar-besaran.

III.       Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter dan Perbankan

Upaya pemulihan ekonomi nasional telah ditempuh oleh Pemerintah melalui langkah-langkah kebijakan yang bersifat menyeluruh yang tidak hanya menyangkut program stabilisasi makroekonomi (kebijakan moneter dan fiskal) tetapi juga program reformasi di bidang keuangan dan sektor riil. Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian maka upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan, khususnya perbankan, menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan yang penting dalam proses kebangkitan (recovery) perekonomian secara keseluruhan. Di samping peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan menjalankan fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri perbankan yang umumnya sedang mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Hal ini mengakibatkan kebijakan moneter sering kurang efektif dalam mencapai sasaran. Dengan kerangka yang demikian, sangatlah sulit dibayangkan format pemulihan perekonomian nasional melalui program stabilisasi ekonomi makro apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang parah.  Untuk mengatasi dampak krisis, apa yang dapat dilakukan segera adalah melakukan restrukturisasi perbankan. Rangkaian kebijakan tersebut diharapkan dapat kembali membangun kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap system keuangan dan perekonomian kita, mengupayakan agar perbankan kita menjadi lebih solvabel sehingga dapat kembali berfungsi sebagai lembaga perantara yang mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus meningkatkan efektifitas
pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan luasnya cakupan sasaran yang akan dicapai tersebut, strategi umum yang banyak diterapkan di Asia, khususnya program-program ekonomi, bertumpu pada 4 (empat) bidang kebijakan pokok:

1.      Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, yaitu kebijakan moneter yang ketat.
2.      Di bidang Fiskal, ditempuh kebijakan fiskal yang lebih terfokus kepada upaya realokasi pengeluaran kegiatan-kegiatan yang tidak produktif kepada kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi ‘social cost’ yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi yang terjadi.
3.      Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance), ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik atau swasta. Termasuk di dalamnya upaya untuk mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya.
4.      Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis, dan menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang.

Program pemulihan ekonomi yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya juga bertumpu pada hal yang sama. Namun demikian, upaya penyehatan dan pemberdayaan sektor perbankan telah menyita perhatian yang jauh lebih besar khususnya dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini karena krisis yang dialami oleh sector perbankan begitu mendalam, tidak hanya terjadi pada tingkat individual bank tetapi telah merupakan krisis sistem perbankan secara umum. Krisis ini dalam perkembangannya seperti yang kita saksikan bersama telah memperburuk kinerja perekonomian. Dalam konteks inilah kita tempuh kebijakan perbankan yang komprehensif yang tidak saja diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi pada tingkat individual bank dan sistem perbankan, tetapi juga dapat mempercepat pemulihan kegiatan ekonomi nasional. Upaya pemberdayaan perbankan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat program, yakni :

                                i.            program rekapitalisasi bank-bank yang merupakan langkah strategis untuk memperbaiki permodalan bank;
   ii       program restrukturisasi kredit yang akan sangat menentukan keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara keseluruhan;
  iii       program pengembangan infrastruktur perbankan untuk meningkatkan daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak, antara lain rencana pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dan pengembangan bank syariah;
   iv      program penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.

Keempat aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan, dan harus sudah selesai pada sekitar tahun 2001. Dengan demikian, kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang, diharapkan kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi. Untuk menjaga sustainability kebijakan restrukturisasi perbankan, baik melalui penyehatan di sisi aktiva maupun pasiva, perlu disertai dengan restrukturisasi sisi operasional perbankan dan perbaikan ekonomi makro secara umum, termasuk sektor riil. Untuk itu diperlukan beberapa syarat yang perlu menjadi pemikiran, yaitu:
1.      Kondisi ekonomi makro yang stabil. Kondisi ekonomi yang stabil merupakan persyaratan yang penting bagi terwujudnya kegiatan usaha bank yang sustainable. Dengan laju inflasi yang rendah, disertai oleh nilai tukar yang stabil, suku bunga dapat diharapkan untuk terus turun ke tingkat “normal”, sehingga bank-bank tidak lagi harus menanggung beban negative spread dan bahkan dapat memupuk keuntungan untuk memperkuat permodalannya. Kestabilan nilai tukar dan kestabilan tingkat harga juga pada dirinya memberikan kestabilan dan kepastian bagi usaha bank-bank.

2.   Dukungan dari program restrukturisasi dunia usaha. Penyehatan usaha bank perlu didampingi oleh penyehatan sektor riil karena keduanya terdapat keterkaitan yang sangat erat. Dalam hubungan ini langkah-langkah yang dilakukan melalui program INDRA, Prakarsa Jakarta, maupun program restrukturisasi kredit bank-bank dengan prokarsa Bank Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia usaha, sehingga dunia usaha dapat mulai berkiprah kembali bersama-sama dunia perbankan
3.   Pembaharuan sistem hukum dan perundang-undangan serta sistem akuntansi. Perbaikan dari segi hukum dan akuntansi diharapkan untuk menciptakan transparansi dan kepastian usaha bank dengan tetap memberlakukan azas kehatihatian.

4.      Penciptaan pasar yang efisien (Market and institutional deepening). Penciptaan pasar yang efisien memungkinkan terciptanya fungsi intermediasi yang optimum dan efektivitas kebijakan moneter. Hal ini dilakukan antara lain melalui penciptaan sistem insentif yang cocok, yaitu berdasarkan mekanisme pasar.

5.   Tenaga-tenaga terlatih yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi untuk mengelola perbankan. Sehubungan dengan itu, program-program pelatihan dan pembinaan, serta program pengawasan bank yang efektif dan terus menerus untuk menjamin kualitas dari sumber daya manusia yang ada di perbankan merupakan
hal-hal yang mutlak harus dilakukan. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa diperlukan strategi restrukturisasi yang komprehensif yang tidak hanya menekankan pada upaya penyehatan aspek keuangan perbankan semata, tetapi juga memperhatikan konsistensinya dengan program pemulihan ekonomi makro. Melalui pendekatan yang komprehensif, telah dibuktikan bahwa restrukturisasi perbankan telah memberikan dampak positif bagi upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan laju inflasi. Hal ini dapat terjadi karena pemulihan fungsi intermediasi perbankan secara efektif meningkatkan kembali mobilisasi dana, merealokasi sumber keuangan secara lebih efisien dan mendorong penurunan tingkat bunga. Dengan kondisi makroekonomi yang semakin terkendali tersebut, kepercayaan masyarakat dan investor secara berangsur-angsur diharapkan dapat pulih sehingga pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi kita.



IV.       Independensi Bank Indonesia Dalam Menetapkan Kebijakan Moneter
Disamping faktor efektivitas kebijakan, upaya stabilisasi dan reformasi ekonomi di sektor moneter-perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kewenangan Bank Indonesia dalam menetapakn kebijakan dimaksud. Sebagaimana diketahui, sebelum berlakukanya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah Undangundang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Dalam Undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya Bank Indonesia mengacu pada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah yang perumusannya dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab anatara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan Pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Terbatasnya kewenangan Bank Indonesia tersebut berakibat pada kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang berlangsung beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk memberikan kewenangan yang lebih tegas kepada Bank Indonesia dalam menajlankan fungsinya selaku otritas moneter. Untuk itulah, sejak tanggal 17 Mei 1999 Undang-undang No. 13 Tahun 1968 diganti Undang-undang No. 23 Tahun 1999. UU yang baru diwarnai oleh kuatnya nuansa "independensi" yang diberikan kepada Bank Indonesia. Hal ini menunjukkan terdapatnya keseriusan dan kesadaran bersama untuk memperkokoh fungsi dan peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Banyak hal mendasar dalam UU Bl ini yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas Bank Indonesia sebagai bank sentral. Dalam UU ini dirnuat berbagai ketentuan/pasal yang memberikan dasar hukum yang kuat bagi independensi Bank Indonesia, seperti kedudukan dan status Bank Indonesia, tujuan dan tugas, penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, pengaturan dan pengawasan bank, pengaturan dan pemeliharaan kelancaran sistem pembayaran, akuntabilitas dan transparansi, serta mengenai Pimpinan Bank Indonesia. Jiwa yang terkandung di dalam Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia ini adalah bahwa kestabilan moneter merupakan prasyarat mutlak bagi dapat terlaksananya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, bahwa Bank Sentral perlu diberi tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kestabilan moneter tersebut, dan bahwa tugas itu akan dapat terlaksana dengan baik hanya apabila Bank Sentral terbebas dari campur tangan pihak-pihak lain, termasuk Pemerintah. Pandangan atau jiwa tersebut merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya sejak lama di dalam ilmu ekonomi, namun pelaksanaannya dimasa lalu banyak mengalami rintangan dari berbagai kepentingan politik dan lainnya. Negara-negara yang menganut prinsip independensi bank sentral sejak lama, seperti Amerika Serikat dan Jerman, telah membuktikan bahwa dengan independensi tersebut mereka telah dapat menjaga kestabilan moneter dengan lebih baik.
Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak negara, termasuk Indonesia, yang semakin menyadari pentingnya independensi bank sentral ini, dan berhasil merumuskan undang-undang yang menjamin independensi tersebut. Bagi Indonesia, pengalaman masa lalu sebetulnya memberikan landasan yang sangat kuat dan jelas bagi perlunya bank sentral yang independen. Pengalaman pertama adalah pada waktu Orde Lama, di mana Pimpinan Bank Indonesia itu adalah Menteri Urusan Bank Sentral, yang secara struktural harus melaksanakan programprogram Pemerintah. Pada waktu Pemerintah memerlukan dana yang besar untuk menutup anggaran yang defisit, Bank Indonesia harus mencetak uang untuk itu dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, dan akibatnya sudah kita ketahui bersama. Pengalaman kedua, yang semakin menyadarkan kita akan pentingnya kestabilan moneter dan perlunya independensi bank sentral untuk mencapainya, adalah krisis yang baru saja kita alami. Kesadaran akan pentingnya kestabilan yang muncul dari nuansa krisis ini akan selalu melekat dalam pengkajian mengenai Undang-undang ini. Walaupun nantinya, krisis yang kita alami ini akan berlalu, saya berharap bahwa kita tidak boleh lupa akan rangkaian proses yang bermuara pada krisis yang kita alami. Berbagai faktor yang menjadi pemicu krisis dapat terakumulasi selama bertahuntahun tanpa kita sadari namun dampaknya dapat terjadi dengan sangat cepat dan dahsyat. Ini merupakan pelajaran yang sangat berharga yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh lengah terhadap munculnya faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Undang-undang No. 23 tahun 1999 memang mengandung dua aspek penting yang sejalan dengan apa yang diuraikan terdahulu. Aspek pertama adalah kebebasan atau independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh dicampurtangani oleh Pemerintah atau pihak-pihak lainnya. Independensi yang diamanatkan Undang-undang ini merupakan upaya agar Bank Indonesia, sebagai penjaga gawang kestabilan perekonomian, tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan rupiah dalam kondisi politik yang dapat berubah. Aspek kedua, tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Secara bersama-sama, aspek pertama dan aspek ke dua, di satu pihak bagi Bank Indonesia akan merupakan tuntutan yang demikian berat agar kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara terus menerus dan di lain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua pihak, termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim usaha untuk masa-masa yang akan datang dapat lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah.


Bagi Bank Indonesia kedua aspek ini merupakan tuntutan yang harus dijawab dengan profesionalisme dan integritas personalia yang tinggi. Dengan melihat tugas Bank Indonesia yang diatur oleh Undang-undang yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi Bank, maka terdapat dua bidang yang harus ditangani oleh Bank Indonesia, yaitu kestabilan moneter (monetary stability) dan kestabilan keuangan (financial stability), yang keduanya saling terkait dan menunjang upaya mencapai kestabilan rupiah. Dengan demikian, penyelenggaraan tugas Bank Indonesia di masa yang akan datang akan lebih diarahkan untuk memelihara sinergi dalam mencapai kestabilan moneter dan kestabilan finansial. Kami sangat menyadari akan pentingnya kredibilitas,yang tercermin dari tingginya kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap kompetensi Bank Indonesia, untuk dapat berhasil mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut. Oleh karena itu menjadi bank sentral yang kredibel dan disegani merupakan visi Bank Indonesia di masa yang akan datang. Undang-undang ini memberikan peluang lebih besar lagi kepada Bank Indonesia untuk melakukan tugasnya secara lebih profesional. Adanya independensi telah pula memberikan jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut dapat lebih difokuskan ke sasaran yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh kepentingan lain. Namun di sisi lain Bank Indonesia menyadari pula bahwa pelaksanaan independensi ini haruslah disertai pula dengan sikap yang bertanggung-jawab (accountability) yang didukung oleh keterbukaan (transparansi). Untuk itu Bank Indonesia telah pula mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik.. Bank Indonesia berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia senantiasa diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian. Disamping itu, secara internal pelaksanaan Undang-undang tentang Bank Indonesia ini perlu didukung oleh adanya individu-individu Anggota Dewan Gubernur dan pejabat Bank Indonesia yang mampu bersikap mandiri, yang tidak dipengaruhi oleh pergantian Pemerintahan. Kemandirian invididu ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kemandirian Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan moneter. Untuk menjaga kemandirian ini pula mekanisme penggantian dan pengangkatan Anggota Dewan Gubernur tidak dilakukan sekaligus tetapi secara berkala setiap tahunnya. Dengan demikian diharapkan Anggota Dewan Gubernur tidak terafiliasi pada kepentingan politik tertentu, karena penggantian dan pengangkatannnya, setelah disetujui DPR, belum tentu dilakukan oleh Presiden yang sama.
Suatu hal yang perlu diketengahkan dan ditekankan dalam pembahasan mengenai independensi ini adalah bahwa didalam pelaksanaan independensi tersebut perlu disadari adanya inter-dependensi diantara berbagai lembaga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan independensi Bank Indonesia dilakukan dalam suatu koridor pelaksanaan tugas bersama sama dengan lembaga lain, khususnya dengan otorita fiskal. Pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang independen akan kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan pelaksanaan kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab, berdisiplin dan transparan. Dalam hubungan ini, visi Bank Indonesia berupa bank sentral yang kredibel dan disegani (respektabel) sangat penting agar saran dan pendapat mengenai kewenangan Bank Indonesia dapat dipahami oleh Pemerintah. Undang-undang ini juga telah mengatur bentuk koordinasi antara Bank Indonesia dengan instansi lain melalui kehadiran Menteri lain dalam Rapat Dewan Gubernur, keharusan Kabinet mengikut-sertakan Gubernur Bank Indonesia dalam pembahasanpembahasan yang terkait dengan moneter, dan lain sebagainya.

V.        Penutup (Kesimpulan)
. Undang-undang ini memberikan peluang lebih besar kepada Bank Indonesia untuk melakukan tugasnya secara lebih profesional. Adanya independensi telah pula memberikan jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut dapat lebih difokuskan ke sasaran yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh kepentingan lain. Untuk itu Bank Indonesia telah pula mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik. Bank Indonesia berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia senantiasa diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian


DAFTAR PUSTAKA :

Nama Kelompok :
1. Jeremia Dionisius Butar - Butar (23211808)
2. Afiatri (20211278)
3. Raymoon (25211923) 
4. Hernanto (23211351) 

Kelas : 1EB25

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

San Diego Chargers